Rabu, 13 Januari 2016

Bunda, Mandikanlah Aku Oleh johanes candar Ekajaya


Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliahku ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best ?'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Sedangkan saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Selain itu, Rani juga mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staff diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami meraih gelar PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Saya tak sempat mengira, apakah mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif (panggilan puteranya itu) berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak Garuda Indonesia, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya, saya pernah bertanya kepadanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal ?''

Dengan sigap, Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK !''

Ucapannya itu benar-benar ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek Neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang dan uang yang banyak.

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu Nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Alif pernah berkata kepada Rani kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya memberikan pengertian kepada anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, Alif tak lagi merengek minta adik. Alif tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut malam, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Sehingga, Rani sering memanggil anaknya itu dengan ''Malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter-nya. ''Alif ingin Bunda yang mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.

Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini terus berulang-ulang sampai hampir sepekan.

“Bunda, mandikan aku !” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan dengan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah mempunyai rencana lain. Alif, si Malaikat Kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Sedangkan Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya yang ia ingin kerjakan adalah memandikan putranya. Setelah sepekan lalu Alif menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si Malaikat Kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, lihat, Bunda sedang mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jama’ah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan ? Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi dari sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa !'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.


Refleksi Hikmah :

Hal yang nampaknya sepele, sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunia dan ambisinya sendiri. Sehingga, mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka, jadi abaikan saja dulu. Kadang hal yang seperti inilah yang membuat banyak orang menyesal.

Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Sebelum semua terlambat, dan sebelum semuanya menghilang dari hadapan kita. Jangan pernah lupakan orang-orang terdekat kita dan orang-orang yang kita sayangi. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari, karena orang-orang yang kita sayangi telah hilang selamanya dari hadapan kita.

Bobot Sebuah Do'a Oleh Yohanes Candra Ekajaya



 Saat itu, Abu Bakar Ash Shidiq menjabat sebagai Khalifah. Waktu itu beliau sedang pergi ke pasar untuk berdagang, di tengah jalan Beliau bertemu dengan Umar Bin Khattab, Umar pun bertanya, "Wahai Abu Bakar, engkau sebagai Khalifah, tapi masih juga menyibukkan diri ke pasar untuk berdagang, apakah tidak mengganggu tugasmu sebagai Khalifah yang berkewajiban untuk melayani rakyat (umat) ?"

 Fateema Redden, seorang Ibu kumuh dengan baju kumal, masuk ke dalam sebuah supermarket. Dengan sangat terbata-bata dan dengan bahasa yang sopan ia memohon agar diperbolehkan mengutang. Ia memberitahukan bahwa suaminya sedang sakit dan sudah seminggu tidak bekerja, sedangkan Ia memiliki tujuh anak yang sangat membutuhkan makan. John Longhouse, si Pemilik supermarket, mengusir dia keluar. Sambil terus menggambarkan situasi keluarganya, si Ibu terus menceritakan tentang keluarganya.

"Tolonglah Pak, Saya janji, saya akan segera membayar hutang tersebut setelah aku punya uang." John Longhouse tetap tidak mengabulkan permohonan tersebut. "Anda tidak mempunyai kartu kredit, anda tidak mempunyai garansi," Ia beralasan.

Di dekat counter pembayaran, ada seorang pelanggan lain, yang dari awal mendengarkan percakapan tersebut. Dia mendekati keduanya dan berkata, "Saya akan membayar semua yang diperlukan Ibu ini."

Karena malu, si Pemilik toko akhirnya mengatakan, "Tidak perlu Pak. Saya sendiri akan memberikannya dengan gratis. Baiklah, apakah Ibu membawa daftar belanja ?" "Ya Pak, Ini," kata sang Ibu sambil menunjukkan sesobek kertas kumal. "Letakkanlah daftar belanja anda di dalam timbangan, dan saya akan memberikan gratis belanjaan anda sesuai dengan berat timbangan tersebut."

Dengan sangat ragu-ragu dan setengah putus asa, Fateema menundukkan kepala sebentar, dan kemudian menuliskan sesuatu pada kertas kumal tersebut, lalu dengan kepala tetap tertunduk, Ia meletakkannya ke dalam timbangan.

Mata Si Pemilik toko terbelalak melihat jarum timbangan bergerak cepat ke bawah. Ia menatap Pelanggan yang tadi menawarkan si Ibu sambil berucap kecil, "Aku tidak percaya pada yang aku lihat." Si Pelanggan baik hati itupun hanya tersenyum.

Disaksikan oleh Pelanggan baik hati tadi, si Pemilik toko menaruh belanjaan tersebut pada sisi timbangan yang lain.

Jarum timbangan tidak kunjung berimbang, sehingga si Ibu terus mengambil barang-barang keperluannya dan si Pemilik toko terus menumpuknya pada timbangan, hingga tidak muat lagi.

Si Pemilik toko merasa sangat jengkel dan tidak dapat berbuat apa-apa. Karena tidak tahan, Si Pemilik toko diam-diam mengambil sobekan kertas daftar belanja si Ibu kumal tadi.

Kertas kumal itu, ternyata tidak berbentuk seperti kertas belanjaan pada umumnya. Tidak tertulis satupun daftar belanjaan di atas kertas tersebut, hanya sebuah do'a pendek, "Rabb, Engkau Maha Mengetahui apa yang hamba perlukan. Hamba menyerahkan segalanya ke dalam tangan-Mu."

Si Pemilik Toko terdiam. Si Ibu, Fateema, berterimakasih kepadanya, dan meninggalkan toko tersebut dengan menenteng belanjaan gratisnya. Si Pelanggan baik hati bahkan memberikan selembar uang 50 dollar kepadanya.

Si Pemilik Toko kemudian mengecek timbangan yang tadi dipakai untuk menimbang dan menemukan bahwa timbangan yang dipakai tersebut ternyata rusak. Ternyata memang hanya Tuhan yang tahu bobot sebuah do'a.


KEKUATAN SEBUAH DO'A


Segera setelah anda membaca cerita ini, ucapkanlah sebuah doa. Hanya itu. Stop pekerjaan anda sekarang juga dan ucapkan sebuah doa untuk dia yang telah mengirimkannya kepada anda. Lalu, kirimkan cerita ini kepada setiap orang atau sahabat yang anda kenal. Biarlah jaringan ini tidak terputus, karena DOA ADALAH HADIAH TERBESAR DAN TERINDAH YANG KITA TERIMA. Tanpa biaya, tetapi penuh daya guna.

Berarti Gajiku Sebagai Khalifah Masih Terlalu Besar Oleh Johanes Candra Ekajaya



Abu Bakar kemudian menjawab, "Wahai Umar, aku berdagang ke pasar mencari nafkah untuk keluargaku."

Lalu Umar mendatangi Abu 'Ubaidah sebagai pemegang amanah baitul mal (Bendahara negara) untuk mengusulkan agar Abu Bakar di beri gaji yang diambil dari Kas Negara, agar tidak harus berdagang ke pasar yang bisa mengganggu tugas Abu Bakar sebagai Kepala Negara.

Di kemudian hari istri Abu Bakar berkata pada Beliau "Aku ingin membuat & makan manisan, Jika Engkau mengizinkan, maka aku akan menyisihkan uang belanja dari Engkau untuk keperluan itu." Abu Bakarpun mengizinkan.

Setelah uang terkumpul maka Istri Abu Bakar berkata lagi, "Ini uang hasil aku menyisihkan sebagian uang belanja, Belikan aku keperluan untuk membuat manisan di Pasar."

Jawab Abu Bakar pada istrinya "Kalau begitu berarti gajiku sebagai Khalifah terlalu besar, sehingga engkau masih bisa menyisihkan sebagian uang untuk keinginanmu ini."

Abu Bakar akhirnya memohon agar gajinya sebagai khalifah dipotong sebesar uang yang telah bisa di sisihkan oleh istri Beliau.

Ya Allah, Betapa Bahagianya Calon Suamiku Itu Johanes Candra Ekajaya



Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia merupakan salah seorang Ahlus Suffah yang tinggal di Masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya dengan agak gugup.

"Wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau sendiri saja," Rasulullah SAW menyapa.

"Allah bersamaku ya Rasulullah," kata Zahid.

"Maksudku bukan itu. Kenapa selama ini engkau membujang saja ? Apakah engkau tidak ingin menikah ?" tanya Rasulullah SAW.

Zahid menjawab, "Ya Rasulullah, aku ini adalah seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah ?"

"Asal engkau mau, itu urusan yang mudah !" kata Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada seorang wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawa ke rumah Zahid dan oleh Zahid dibawa kerumah Said. Karena di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.

"Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia untuk diberikan lepadamu saudaraku."

Said menjawab, "Adalah suatu kehormatan buatku."

Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi perkawinan Arab yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, "Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah ?"

Zahid menjawab, "Apakah engkau pernah melihat aku berbohong ?"

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, "Wahai Ayah, kenapa sedikit tegang dengan tamu ini ? Bukankah lebih baik disuruh masuk?"

"Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya," kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, "Wahai Ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya. Mereka semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah !" kata Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, "Wahai saudaraku, bukan aku menghalanginya. Tetapi engkau tahu sendiri bahwa anakku tidak mau dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak."

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama Rasul ?"

Akhirnya Said berkata, "Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah."

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah tidak berkata bahwa yang melamar ini adalah Rasulullah, kalau begitu segera saja wahai Ayah, kawinkan aku dengan pemuda ini. Karena aku ingat firman Allah dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) diantara mereka ialah ucapan, 'Kami mendengar, dan kami taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung'". (Qs. An Nur : 51)"

Pada hari itu Zahid merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini ia merasakan bahagia yang tiada tara. Segera setelah itu, Zahid pamit pulang. Sampai di masjid ia langsung bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.

"Bagaimana Zahid ?" tanya Rasulullah.

"Alhamdulillah diterima ya Rasul," jawab Zahid.

"Sudah ada persiapan ?"

Zahid menundukkan kepala sambil berkata, "Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa."

Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, 'Ustman, dan 'Abdurrahman bin 'Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah bersiap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, "Ada apa ini ?"

Sahabat menjawab, "Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, apakah engkau tidak mengerti ?".

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, "Wahh,, kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus."

Para sahabat menasehatinya, "Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang ?"

Zahid menjawab dengan tegas, "Itu tidak mungkin !"

Lalu Zahid menyitir sebuah ayat yang berbunyi, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Qs. At Taubah : 24).

Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.

Rasulullah berkata, "Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah."

Lalu Rasulullah membacakan Ayat, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(Qs 'Ali Imran : 169-170).

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al Baqarah : 154).

Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfah pun berkata, "Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat."


Refleksi Hikmah :

Mudah-mudahan bermanfaat dan bisa menjadi renungan buat kita bahwa, "Untuk Allah di atas segalanya" Be A Good Mosleem or Die As Suhada'.

Ibu Buta, yang memalukan ku Oleh Yohanes Candra Ekajaya

 
 
Saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan memiliki wajah yang tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di sekolah, kebahagiaan karena kepintaranku yang dibanggakan banyak guru. Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang Ibu yang BUTA ! Matanya tidak ada satu. Aku sangat malu, benar-benar malu.

Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, tak ada satupun yang cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang Ibu bekerja membuat makanan untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana.

Pada suatu saat Ibu datang ke sekolah untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang ke rumah dan tidak tidur di rumah. Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuatku kesempurnaan yang kumiliki manjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.
Tepat di saat istirahat, Kulihat sosok wanita tua di pintu sekolah. Bajunya pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah Ibuku yang mempunyai mata satu. Dan yang selalu membuat aku malu dan yang lebih memalukan lagi Ibu memanggilku.
“Mau ngapain Ibu ke sini ? Ibu datang hanya untuk mempermalukan aku !” Bentakan dariku membuat diri Ibuku segera bergegas pergi. Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari sekolahku. Karena kehadiranya itu aku benar-benar malu, sangat malu.
Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan, “Hai, itu Ibumu ya ??? Ibumu matanya satu ya ?” yang menjadikanku bagai disambar petir mendapat pertanyaan seperti itu.

Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah dan mendapat beasiswa di sebuah sekolah di luar negeri. Aku mendapatkan beasiswa yang ku incar dan kukejar agar aku bisa

segera meninggalkan rumah kumuhku dan terutama meninggalkan Ibuku yang membuatku malu. Ternyata aku berhasil mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada dan aku berangkat pergi tanpa memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan Ibuku. Seorang yang selalu menghalangi kemajuanku.

Di Sekolah itu, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena kepintaran dan ketampananku. Aku telah sukses dan kemudian aku menikah dengan seorang gadis Indonesia dan menetap di Singapura.

Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggalku sangat mewah, aku mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku rela mempertaruhkan nyawaku untuk putraku itu.

10 tahun aku menetap di Singapura, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan sama sekali aku tak pernah memikirkan nasib Ibuku. Sedikit pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan kehidupan ku sekarang.

Tapi pada suatu hari kehidupanku yang sempurna tersebut terusik, saat putraku sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibuku, Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia memperoleh ongkosnya. Dia datang menemuiku.

Seketika saja Ibuku ku usir. Dengan enteng aku mengatakan, “Hey, pergilah kau pengemis. Kau membuat anakku takut !”

Dan tanpa membalas perkataan kasarku, Ibu lalu tersenyum, “Maaf, saya salah alamat”

Tanpa merasa besalah, aku pun masuk ke dalam rumah.

Beberapa bulan kemudian datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA-ku. Aku pun datang untuk menghadirinya dan beralasan pada istriku bahwa aku akan dinas ke luar negeri.

Singkat cerita, tibalah aku di kota kelahiranku. Tak lama, hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini.

Selesai Reuni entah mengapa aku ingin melihat keadaan rumahku sebelum pulang ke Singapura. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri sebenarnya jijik melihatnya. Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat rumah ini begitu berantakan. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu, entahlah dia kemana, tapi justru aku merasa lega tak bertemu dengannya.

Bergegas aku keluar dan bertemu dengan salah satu tetangga rumahku, “Akhirnya kau datang juga, Ibumu telah meninggal dunia seminggu yang lalu”

“OH…”

Hanya perkataan itu yang bisa keluar dari mulutku. Sedikit pun tak ada rasa sedih di hatiku yang kurasakan saat mendengar Ibuku telah meninggal.

“Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu”

Setelah menyerahkan surat itu, ia segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu.

Untuk anakku yang sangat Aku cintai,
Anakku yang kucintai aku tahu kau sangat membenciku. Tapi Ibu senang sekali waktu mendengar kabar bahwa akan ada reuni disekolahmu.
Aku berharap agar aku bisa melihatmu sekali lagi. karena aku yakin kau akan datang ke acara Reuni tersebut.
Sejujurnya Ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap malam Aku hanya bisa menangis sambil memandangi fotomu satu-satunya yang Ibu punya. Ibu tak pernah lupa untuk mendo'akan kebahagiaanmu, agar kau bisa sukses dan melihat dunia yang luas ini.
Asal kau tau saja anakku tersayang, sejujurnya mata yang kau pakai untuk melihat dunia luas itu salah satunya adalah mataku yang selalu membuatmu malu.
Mataku yang kuberikan padamu waktu kau kecil. Waktu itu kau dan Ayahmu mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayahmu meninggal, sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka aku berikan satu mataku ini untukmu.
Sekarang aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan.
Dan akupun sangat bahagia bisa melihat dunia luas dengan mataku yang aku berikan untukmu.
Saat aku menulis surat ini, aku masih berharap bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya, Tapi aku rasa itu tidak mungkin, karena aku yakin maut sudah di depan mataku.
Peluk cium dari Ibumu tercinta


Bak petir di siang bolong yang menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam ! Baru kusadari bahwa yang membuatku malu sebenarnya bukan Ibuku, tetapi diriku sendiri…
_____ ***_____

Sejelek-jeleknya Ibumu, wahai manusia. Dialah orang yang paling berjasa yang pernah engkau kenal. Betapa ia telah bersabar untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.

Jangan pernah malu mempunyai mempunyai seorang Ibu. Walaupun ia merupakan seorang yang cacat sekalipun. Berterima kasihlah kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah memberikan seorang Ibu yang berkorban banyak kepada anaknya.

Pernahkah Anda memeluk dan mencium pipi dan dahinya..??? Demi Allah, lakukanlah hal tersebut. Walaupun engkau melakukannya sebanyak sekali seumur hidup. Dan katakan kepadanya, "Wahai Ibu, Aku mencintaimu..."

(Sumber)

*Wahai Ibu,, aku mencintaimu.. aku menyayangimu.. tapi betapa bodohnya aku ,, tak tahu harus berbuat apa untuk menyatakannya hal itu padamu....

Petani Jalan Kaki Vs Petani Pengendara Motor Oleh Candra Ekajaya


Saat itu, Ada seorang Petani dengan Istrinya yang sedang bergandengan tangan menyusuri pinggir jalan sepulang dari sawah sambil diguyur oleh air hujan.

Tiba - tiba, lewatlah sebuah motor di depan mereka. Berkatalah Sang Petani itu kepada Istrinya, "Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami-istri yang sedang naik motor itu, meskipun mereka juga kehujanan, tapi mereka bisa cepat sampai di rumah, tidak seperti nasib kita yang harus lelah berjalan untuk sampai ke rumah.”

Sementara itu, si Pengendara sepeda motor dengan Istrinya yang sedang berboncengan di bawah derasnya air hujan, melihat sebuah mobil pick-up lewat di depan mereka.

Pengendara motor itu bergumam pada Istrinya, ”Lihatlah Bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil itu. Mereka tidak perlu kehujanan seperti kita.”

Namun, di dalam sebuah mobil pick-up yang dikendarai oleh sepasang suami-istri tersebut, telah terjadi perbincangan, saat sebuah mobil sedan Mercy berpapasan dan lewat di hadapan mereka, ”Lihatlah Bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil bagus itu. Mobil itu pastinya nyaman untuk dikendarai, tidak seperti mobil kita yang sering mogok terus.”

Akan tetapi, Pengendara mobil Mercy itu seorang pria yang kaya raya, dan ketika dia melajukan mobilnya dengan kencang, dia melihat sepasang suami-istri yang sedang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuran air hujan, saat itu juga Pria kaya itu menggerutu dalam hatinya, ”Betapa bahagianya sepasang suami-istri itu. Mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini. Sementara saya dan Istri saya, tidak pernah punya waktu untuk berduaan karena kesibukan kami masing-masing.”


Refleksi Hikmah :

”Kebahagiaan tak akan pernah kau miliki, jika kau hanya melihat kebahagiaan milik orang lain dan selalu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain.”

So, tetaplah bersyukur atas apa yang kamu miliki dalam hidupmu sekarang, supaya kau tahu di mana letak bulu ketiak (kebahagiaan) mu itu berada.

Kebahagiaan itu selalu bersama kita dimanapun kita berada, hanya sayang kita sering tak menyadarinya...

Tukang Kayu Bijaksana Oleh Candra Ekajaya


Alkisah ada dua orang Kakak beradik yang hidup di sebuah desa. Entah karena apa mereka terjebak ke dalam suatu pertengkaran serius. Dan ini adalah kali pertama mereka bertengkar demikian hebatnya.

Padahal selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Saling meminjamkan peralatan pertanian. Dan bahu membahu dalam usaha perdagangan tanpa mengalami hambatan. Namun kerjasama yang akrab itu kini retak.

Dimulai dari kesalahpahaman yang sepele saja. Kemudian berubah menjadi perbedaan pendapat yang besar. Dan akhirnya meledak dalam bentuk caci-maki. Beberapa minggu sudah berlalu, mereka saling berdiam diri tak bertegur-sapa.

Suatu pagi, datanglah seseorang mengetuk pintu rumah sang Kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria membawa kotak perkakas tukang kayu.

"Maaf tuan, sebenarnya saya sedang mencari pekerjaan, barangkali Tuan berkenan memberikan beberapa pekerjaan untuk saya selesaikan," kata pria itu dengan ramah.

"Oh ya, saya punya sebuah pekerjaan untukmu. Kau lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah Adikku," jawab sang Kakak.

"Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan bulldozer lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu sehingga menjadi sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tapi aku akan membalasnya lebih setimpal," keluh sang Kakak.

"Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya, aku ingin melupakannya," lanjutnya dengan tegas.

Kata tukang kayu, "Saya mengerti. Belikan saya paku dan peralatan. Akan saya kerjakan sesuatu yang bisa membuat Tuan merasa senang."

Kemudian sang Kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan dan menyiapkannya untuk si tukang kayu.

Setelah itu ia meninggalkan tukang kayu bekerja sendirian. Sepanjang hari tukang kayu bekerja keras, mengukur, menggergaji dan memaku.

Di sore hari, ketika sang Kakak petani itu kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Betapa terbelalaknya ia begitu melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya.

Namun, yang ada adalah jembatan melintasi sungai yang menghubungkan ladang pertaniannya dengan ladang pertanian Adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.

Dari seberang sana, terlihat sang Adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar.

"Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Padahal sikap dan ucapanku telah menyakiti hatimu. Maafkan aku," kata sang Adik pada Kakaknya.

Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, saling berjabat tangan dan berpelukan. Melihat itu, tukang kayu pun membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.

"Hai, jangan pergi dulu. Tinggallah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang Kakak.

"Sesungguhnya saya ingin sekali tinggal di sini, kata tukang kayu, tapi masih banyak jembatan lain yang harus saya selesaikan," jawab si Tukang Kayu.

Ketawadhu'an Abu Hanifah Oleh Yohanes Candra Ekajaya



Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Aku belajar lima masalah dalam ibadah haji dari seorang Pencukur rambut.”

Berikut ini kisahnya :

Setelah aku menyelesaikan manasik haji, aku pergi ke tukang cukur untuk mencukur rambutku.

Aku bertanya kepada tukang cukur, “Berapa ongkos mencukur rambut ?”

Tukang cukur itu menjawab, “Ini adalah ibadah dan ibadah tidak mensyaratkan apa pun. Duduklah !” Aku pun duduk dan membelakangi kiblat.

Dia berkata, “Hadapkan wajahmu ke arah kiblat !”

Ku berikan kepalaku sebelah kiri untuk dicukur terlebih dahulu. Dia kembali berkata, “Putar kepalamu ke arah kanan.”

Maka aku pun memutar kepalaku ke arah kanan. Dia langsung mencukur rambutku dan aku diam saja. Dia berkata lagi, “Bacalah takbir (Allahu akbar) !”

Aku pun terus membaca takbir sampai dia selesai mencukur. Ketika aku berdiri dia berkata, “Mau ke mana kamu ?”

Aku menjawab, “Aku ingin meneruskan perjalananku”

Dia berkata, “Shalatlah dua raka’at dulu, setelah itu pergilah”

Aku sangat terkejut dengan perkataan tukang cukur itu dari awal dia mencukur rambutku, lalu aku bertanya kepadanya, ”Dari mana kamu belajar semua ini ?”

Dia berkata, “Aku pernah melihat ‘Atha’ bin Abi Rabbah melakukan ini”


Di antara ketawadhu’an Imam Abu Hanifah yang lain adalah ketika Abu Hanifah melewati anak-anak yang sedang bermain di jalan, dia berkata kepada salah seorang dari mereka, “Wahai anakku, hati-hati, nanti jatuh ke tanah”

Anak-anak itu membalas, “Engkaulah yang seharusnya berhati-hati, agar jangan sampai jatuh, karena terperosoknya orang 'alim adalah terperosoknya alam.” (Kesalahannya menyebabkan kesalahan orang-orang).

Abu Hanifah berkata, “Demi Allah, sejak saat itu aku tidak mengeluarkan fatwa, kecuali setelah berdiskusi dengan murid-muridku selama 40 hari.”

Ketika Hukum Allah Berlaku Oleh Johanes Candra Ekajaya



Ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di salah satu kota di Kerajaan Arab Saudi yang ditulis berdasarkan penuturan pelakunya sendiri, sebut saja namanya Shabir.

Kisah ini bermula ketika Shabir yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum pada salah satu universitas ternama di Arab Saudi kembali ke rumahnya pada suatu hari. Ketika itu dia mendapati istrinya sedang melakukan perselingkuhan dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Demi melihat dia datang, Istrinya dan lelaki asing itu merasa ketakutan, seolah-olah petir yang datang dari langit tengah menyambar-nyambar mereka. Shabir berkata kepada lelaki itu, “Pakailah pakaianmu”

“Demi Allah, Tuhan Yang Maha Esa, istrimu yang menggodaku.”

“Pakailah pakaianmu, semoga Allah menutup aibmu ini.”

Shabir mengusir orang itu keluar dari rumahnya, sementara api kemarahan tengah bergejolak hebat di dalam dadanya. Namun dia berusaha untuk menguasai diri, karena dia yakin ada hikmah di balik kejadian ini. Lelaki itu keluar dengan senyum sinis karena menganggap Shabir adalah suami yang bodoh, terbukti dia tidak marah kepadanya, bahkan membentaknya pun tidak. Shabir hanya mengatakan, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung atas semua kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan.”

Jika seseorang dalam posisi seperti ini mungkin dia akan memilih mati daripada hidup menanggung malu. Namun Shabir adalah seorang yang shalih, dia kembali ke kamar, melihat istrinya dan mengatakan, “Istriku, tolong segera kumpulkan semua pakaian dan barang-barangmu, aku menunggu di luar kamar untuk mengantarmu ke rumah keluargamu.”

Istrinya tertunduk malu dan duduk sambil menangisi dirinya. Dia menyesali apa yang telah terjadi dan baru tersadar bahwa itu semua adalah perbuatan setan durjana. Shabir dengan tenang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, lantas mengatakan, “Semoga Allah menutup aibmu, cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”

Setelah wanita itu selesai berkemas, Shabir mengantarkannya ke sebuah kota dengan jarak perjalanan 300 km hingga sampai di rumah keluarga mantan istrinya tersebut. Sesampainya di rumah itu, Shabir berkata kepada mantan istrinya, “Semoga Allah menutup semua aibmu dan takutlah kepada Allah yang telah melihat semua perbuatanmu, semoga Dia memberikan lelaki lain yang lebih baik dari diriku.”

Wanita itu menimpali, “Sungguh, aku tidak berhak memilikimu.” Dia pun hanya bisa duduk memaki-maki dirinya sendiri sementara Shabir kembali ke kota tempatnya beraktivitas.

___ Beberapa Tahun Kemudian ___

Singkat cerita, Shabir berhasil lulus dari Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Namun, senyum sinis lelaki yang melakukan maksiat bersama istrinya beberapa tahun silam selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Tidak lama setelah lulus, dia pun menikah untuk kedua kalinya, dan atas berkat rahmat Allah dia pun diangkat sebagai hakim di sebuah pengadilan di kota tempat tinggalnya. Dia pernah bercerita kepada salah seorang kolega perihal istri keduanya yang begitu baik, “Allah Ta’ala telah memberikan ganti yang lebih baik daripada istriku yang pertama, aku bahkan tidak pernah bermimpi mempunyai istri sebaik dia.”

Suatu ketika dia pernah diminta mengajar di almamaternya karena dia berhasil mendapatkan predikat mahasiswa terbaik kedua, tapi dia menolak dan hanya memilih profesi sebagai hakim. Dia pun fokus untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak lama setelah menyelesaikan program Magister dia pun berhasil merampungkan program Doktoral dengan waktu yang tidak lama. Setelah itu, dia diangkat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi di kota Jeddah.

Shabir mengatakan, “Dalam setiap shalat aku memohon kepada Allah agar dapat menghilangkan peristiwa tersebut dari ingatanku, namun setiap kali melihat orang yang tersenyum bayangan lelaki bejat itu selalu datang menghantuiku, maka aku pun segera mengucapkan 'Adzubulillahi Minasy Syaithanir Rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”

Seperti biasanya, Shabir menerima berkas perkara pidana yang harus diproses secara hukum dengan segera melalui pengadilan. Salah satu berkas yang diterima adalah kasus pembunuhan. Pada saat itulah dia mengetahui ganjaran dari Allah terhadap kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya, “Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.”

Tak dinyana, pembunuh tersebut adalah orang yang pernah dia temui bersama istri pertamanya di dalam rumah beberapa tahun silam. Orang itu terbukti telah membunuh seseorang dengan besi sehingga kondisinya sangat mengenaskan. Ketika lelaki itu datang ke kantornya terjadilah dialog di antara mereka berdua.

“Tuan, aku hanya meminta pertolongan Allah kemudian kepada Anda.”

“Apa yang membawamu ke sini dan apa masalahmu ?”

“Aku menemukan seorang pria di tempat tidur bersama istriku lalu aku langsung membunuhnya.”

“Mengapa kamu tidak membunuh istrimu sekalian agar kamu bergelar Sang Pemberani dan anak dari bapak pemberani ?”

“Aku telah membunuh orang itu dan aku tidak menyadarinya.”

“Kalau begitu, mengapa kamu tidak membiarkan lelaki itu pergi lalu kamu katakan padanya, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?'”

“Apakah Anda rela jika hal itu terjadi pada dirimu Tuan ?”

“Ya, aku rela dan aku tidak akan mengatakan apapun selain, 'Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku dan Dia sebaik-baik pelindung.'”

Orang itu tercengang sambil mengatakan, “Sepertinya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.”

“Ya, benar. Kamu pernah mendengarnya dari mulutku ketika kamu melakukan perselingkuhan dengan istriku di dalam rumahku. Kamu memanfaatkan kepergianku untuk berzina dengannya. Apakah kamu masih ingat senyum sinismu kepadaku ketika beranjak dari rumahku ? Apakah kamu ingat aku mengatakan, ‘Semoga Allah menutup aibmu ini ?' Sungguh, ketika itu jantungku bak disayat-disayat dengan sembilu. Aku merasakan sakit yang tak terperikan. Memang benar, Allah tidak menghukummu ketika itu, namun kamu terus melakukan maksiat kepada Allah sehingga sekarang hukum qishash sedang menunggumu. Aku bersumpah demi Allah Yang Maha Agung bahwa aku yakin sepanjang hidupmu pasti kamu tidak akan pernah melupakan peristiwa itu.”

Shabir pun terdiam beberapa saat. Kemudian dia kembali angkat bicara, “Menurutmu apa yang bisa aku lakukan sekarang jika keluarga korban tidak mau memaafkanmu ? Sudah pasti aku akan menerapkan hukum Allah pada dirimu.”

“Aku sudah mengetahui hal itu, tapi aku hanya meminta satu hal dari Anda.”

“Apa yang kamu inginkan ?”

“Aku ingin Anda memaafkanku dan berdo'a kepada Allah agar melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Aku akui bahwa aku telah menuruti langkah setan yang terkutuk. Hanya Allah sebagai saksi bahwa apa yang dikatakan oleh istrimu itu benar. Akulah yang telah menggodanya dengan bermacam cara untuk merenggut kehormatannya. Jika satu cara gagal maka aku selalu berusaha mencari cara yang lain. Inilah yang sebenarnya terjadi. Duhai kiranya Anda membunuhku ketika itu sehingga aku tidak mengalami hal yang serupa.”

“Semoga Allah memaafkanmu di dunia dan akhirat kelak. Sungguh, peristiwa itu bukan hal yang mudah untuk dilupakan, akan tetapi aku selalu berdzikir kepada Allah agar memudahkan semua urusanku.”

Shabir tidak berhenti sampai di situ, dia berusaha menghubungi beberapa pemuka agama untuk membujuk keluarga korban agar sudi memaafkan si pembunuh, karena memaafkan adalah tanda kebesaran jiwa seseorang sekalipun tidak memaafkannya juga hak keluarga tersebut. Namun hikmah Allah di atas segalanya, keluarga korban tidak mau memaafkan pembunuh itu, mereka bersikukuh agar Hakim menjatuhkan hukum 'Qishash' kepada orang itu, sehingga tidak ada lagi korban berikutnya. Subhanallah.

Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran bahwa setiap amalan akan diganjar di dunia sebelum di akhirat kelak, entah itu amalan baik maupun buruk. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah Ta’ala, “Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 109)

Toko Pendamping Hidup Oleh Yohanes Candra Ekajaya



Toko pendamping Hidup adalah toko dimana pria maupun wanita dapat memilih pasangan untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya. Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantainya terdapat kelompok calon pendamping hidup.

Diantara instruksi-instruksi yang ada di pintu masuk tiap lantainya, terdapat instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk ke toko tersebut :

"Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI !"

Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai pendamping hidup tersebut. Kamu dapat memilih pendamping hidup di lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya, tapi dengan syarat kamu tidak bisa turun lagi ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko.

Lalu, seorang pria pun pergi ke "TOKO PENDAMPING HIDUP" tersebut untuk mencari istri.

Di setiap lantai terdapat tulisan seperti berikut :

Lantai 1

"Wanita di lantai ini adalah seorang yang Sholehah dan pandai memasak."

Pria itu hanya tersenyum dan kemudian naik ke lantai selanjutnya.

Lantai 2

"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak dan lemah lembut."

Pria itu kembali tersenyum lalu naik ke lantai selanjutnya.

Lantai 3

"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut dan cantik."

"WOW !", ujar sang Pria, ia menjadi penasaran dengan lantai selanjutnya dan terus naik.

Lantai 4

"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut, cantik banget dan sayang anak."

"Ya ampun !" Dia berseru, "Aku hampir tak percaya !" karena semakin penasaran, dengan penuh semangat dia melanjutkan ke lantai selanjutnya.

Lantai 5

"Wanita di lantai ini seorang yang Sholehah, pandai memasak, lemah lembut, cantik banget, sayang anak dan sexy."

Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah ke lantai 6 dan menemukan tulisan...


Anda adalah pengunjung yang ke 4.212.196.818 ....
Tidak ada wanita di lantai ini
Lantai ini hanya semata-mata pembuktian untuk orang-orang yang tidak pernah puas,.

Terima kasih telah berbelanja di "TOKO PENDAMPING HIDUP"

Mohon hati-hati ketika keluar dari sini. Kami mengucapkan terima kasih.


Pesan moral ini bukan hanya untuk pria saja tetapi juga untuk wanita :

Syukurilah atas pasangan yang sudah Allah sediakan untukmu
Pasangan yang Allah berikan adalah yang terbaik untukmu
Cintai pasanganmu apa adanya
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya
Karena tidak ada satupun manusia yang sempurna

Sifat Baik Itu Masih Ada di antara Kaum Muslimin Oleh Johanes Candra Ekajaya



Suatu hari, 'Umar ibn Al Khattab sedang duduk di bawah sebatang kurma. Serbannya dilepas, sehingga menampakkan kepala yang rambutnya mulai teripis di beberapa bagian. Di atas kerikil dia duduk, dengan cemeti imaratnya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya, para pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan.

Di dalam halaqah tersebut, ada seorang anak muda yang tampak menonjol. Abdullah ibn ‘Abbas namanya. Berulangkali Khalifah 'Umar memintanya bicara. Jika terdapat perbedaan pendapat, 'Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu 'Abbas. Ada juga Salman Al Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara berapi-api.

Tiba-tiba pembicaraan mereka terjeda, dengan kedatangan dua orang pemuda yang berwajah mirip dengan mengapit seorang Pemuda lain yang mereka cekal lengannya.

“Wahai Amirul Mukminin” ujar salah seorang dari mereka. ”Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh Ayah kami ini !“

Khalifah 'Umar bangkit dan berkata, “Takutlah kalian kepada Allah !” ujar 'Umar. “Perkara apakah ini ?”

Kedua pemuda itu menegaskan bahwa Pemuda yang mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa si pelaku ini telah mengaku.

'Umar bertanya kepada sang tertuduh, “Benarkah apa yang mereka dakwakan kepadamu ini ?”

“Benar wahai Amirul Mukminin !” jawab sang Pemuda tersebut.

“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal !” 'Umar menyelidik dengan teliti. "Ceritakanlah kejadiannya !”

“Aku datang dari negeri yang jauh” kata Pemuda itu. “Begitu sampai di kota ini, aku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Ku tingggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai makan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka”

“Saat aku kembali” lanjutnya sembari menghela nafas, ”Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya” mendengar cerita tersebut Khalifah 'Umar termenung.

“Wahai Amirul Mukminin” kata salah satu dari kedua adik beradik itu, “Tegakkanlah hukum Allah. Kami minta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar jiwa”

'Umar melihat ke arah pemuda tertuduh itu. Usianya masih sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di air mukanya. 'Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab dan berhati lembut ini harus mati begitu pagi.

“Bersediakah kalian” ucap 'Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash, ”Menerima pembayaran diyat dariku atas pemuda ini dan memaafkannya ?”

Kemudian dua Pemuda itu saling pandang, ”Demi Allah, wahai Amirul Mukminin” jawab mereka. “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan takkan terganti dengan diyat sebesar apapun. Hati kami baru tenteram jika had ditegakkan !”

'Umar terhenyak, “Bagaimana menurutmu ?” tanyanya kepada pemuda sang terdakwa.

“Aku ridha hukum Allah ditegakkan ke atasku, wahai Amirul Mukminin” kata si Pemuda dengan yakin.

“Namun ada beberapa hal yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka, juga memohon ridha dan keampunan ayah dan ibuku”

'Umar terenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan. tetapi Pemuda itu juga memiliki amanah yang harus ditunaikan.

“Jadi bagaimana ?” tanya 'Umar.

“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu, tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai Putra Al Khattab."

"Adakah orang yang bisa menjaminmu ?"

"Aku tidak memiliki seorang pun yang ku kenal di kota ini, hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memilki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat"

"Tidak ! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak mengizinkanmu pergi"

"Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku"

"Aku percaya. Tetapi tetap harus ada seorang manusia yang menjaminmu !"

“Aku tak punya !”

“Wahai Amirul Mukminin !” terdengar sebuah suara yang berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya !”

Inilah dia Salman Al Farisi yang tampil mengajukan diri.

"Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini ?”

"Benar, aku bersedia !”

"Kalian berdua adik beradik yang mengajukan gugatan," panggil 'Umar, "Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini ?? Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat."

Kedua Pemuda itu saling pandang, “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak.

_____ *** _____

Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum nyaris habis. 'Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir, sementara Salman duduk khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya sedang berada di ujung tanduk. Andai lelaki Pembunuh itu tak datang memenuhi janjinya, maka dirinyalah selaku Penjamin yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.

Waktu terus melaju. Dan, Pemuda itu masih belum muncul.

Kota Madinah mulai terasa kelabu. Para Sahabat berkumpul mendatangi 'Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal (pengganti). Mereka sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati. Dia dicintai.

Satu demi satu dimulai dengan Abu Darda’ dan beberapa sahabat lainnya, mereka mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar dijatuhkan kepadanya. Tetapi Salman menolak. 'Umar pun juga menggeleng. Matahari terus lingsir ke barat. Dan Kekhawatiran 'Umar pun semakin memuncak. Para sahabat makin kalut dan sedih.

Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, tampak seseorang datang dengan berlari tertatih dan terseok-seok. Dialah Pemuda itu, Sang Terhukum.

"Maafkan aku," ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah, “Urusan untuk kaumku itu ternyata berbelit-belit dan rumit. Sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa ku tinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai ke mari hingga nyaris terlambat."

Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini, merasakan satu sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang Pemuda harus berakhir hidupnya di hari itu.

"Pemuda yang jujur," ujar 'Umar dengan mata berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu masih ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash ?"

"Sungguh, jangan sampai ada orang yang mengatakan,” kata Pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang menepati janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin."

"Dan kau Salman ?" kata 'Umar bergetar, “Untuk apa kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali ? Bagaimana kau bisa mempercayainya ?”

“Sungguh, jangan sampai ada orang yang bicara,” ujar Salman dengan wajah yang teguh, "Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara kaum Muslimin."

“Allahu Akbar !” kata 'Umar, “Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai Pemuda, had untukmu harus kami tegakkan !"

Pemuda itu mengangguk pasrah.

“Kami memutuskan…” kata salah seorang dari kakak-beradik penggugat tiba-tiba menyeruak.

“Untuk memaafkannya,” mereka tersedu sedan. “Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan menepati janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.“

“Alhamdulillah ! Alhamdulillah !” ujar 'Umar. Pemuda terhukum itu sujud syukur.
Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke arah kiblat mengagungkan Asma' Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua hadirin.

“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran ?” tanya 'Umar pada kedua ahli waris korban.

“Agar jangan sampai ada yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.“

Dewasa Itu Pilihan Oleh Candra Ekajaya



Suatu hari, Ibuku bangun pagi-pagi sekali, lalu bekerja keras sepanjang hari, dari menyiapkan makanan untuk kami sampai membereskan rumah tanpa dibantu oleh pembantu.

Sudah dari jam tujuh malam tadi Ibu selesai menghidangkan makan malam untuk Ayah dan kami, sangat sederhana sekali, hanya berupa telur mata sapi, tempe goreng, sambal teri dan nasi. Namun sayang, karena sibuk mengurusi adik kecilku yang terus merengek, tempe dan telur goreng yang dibuat oleh Ibuku pun agak sedikit gosong.

Saya melihat Ibu sedikit panik, tapi tidak bisa berbuat banyak, sementara minyak gorengnya sudah habis. Kami menunggu dengan tegang apa reaksi Ayah yang pulang kerja, pasti beliau sudah sangat capek, apalagi melihat makan malamnya hanya tempe dan telur yang gosong.

Luar biasa..!!! Ayah saya dengan tenang menikmati dan memakan semua yang disiapkan oleh Ibu dengan bibir tersenyum, dan bahkan beliau berkata, “Bu terima kasih ya..!“

Tak lama kemudian, Ayah saya terus menanyakan kegiatan saya dan adik saya di sekolah. Selesai makan, tepatnya di meja makan, saya mendengar Ibu meminta maaf kepada semuanya, karena telor dan tempe yang di sajikan itu gosong dan satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah apa yang Ayah katakan pada Ibu, “Sayang, gak apa-apa, malahan saya suka sekali dengan telor dan tempe yang gosong, kok.“

Sebelum tidur, saya pergi untuk memberikan ciuman selamat tidur kepada Ayah, kemudian saya bertanya, apakah Ayah benar-benar menyukai telur dan tempe yang gosong tadi ?

Heran dengan pertanyaan saya, tiba-tiba Ayah memeluk saya erat dengan kedua lengannya sambil berkata, “Anakku, Ibu sudah bekerja keras sepanjang hari dan dia benar-benar sudah sangat capek, Jadi sepotong telor dan tempe
yang gosong itu tidak akan menyakiti siapa pun, kan..!"

Ini pelajaran yang saya praktekkan di tahun-tahun berikutnya, “Belajar menerima kesalahan orang lain, adalah satu kunci yang sangat penting untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat, bertumbuh dan abadi."

"Ingatlah, emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang ada, jadi selalulah berpikir yang dewasa.“

Mengapa sesuatu hal itu bisa terjadi, karena ini pasti punya alasannya sendiri.

Dan janganlah kita menjadi orang yang egois dan hanya mau dimengerti, tapi tidak mau mengerti dengan keadaan orang lain.

“Tua itu pasti, tapi Dewasa itu PILIHAN.“

Dewasa Itu Pilihan Oleh Yohanes Candra Ekajaya


Suatu hari, Ibuku bangun pagi-pagi sekali, lalu bekerja keras sepanjang hari, dari menyiapkan makanan untuk kami sampai membereskan rumah tanpa dibantu oleh pembantu.

Sudah dari jam tujuh malam tadi Ibu selesai menghidangkan makan malam untuk Ayah dan kami, sangat sederhana sekali, hanya berupa telur mata sapi, tempe goreng, sambal teri dan nasi. Namun sayang, karena sibuk mengurusi adik kecilku yang terus merengek, tempe dan telur goreng yang dibuat oleh Ibuku pun agak sedikit gosong.

Saya melihat Ibu sedikit panik, tapi tidak bisa berbuat banyak, sementara minyak gorengnya sudah habis. Kami menunggu dengan tegang apa reaksi Ayah yang pulang kerja, pasti beliau sudah sangat capek, apalagi melihat makan malamnya hanya tempe dan telur yang gosong.

Luar biasa..!!! Ayah saya dengan tenang menikmati dan memakan semua yang disiapkan oleh Ibu dengan bibir tersenyum, dan bahkan beliau berkata, “Bu terima kasih ya..!“

Tak lama kemudian, Ayah saya terus menanyakan kegiatan saya dan adik saya di sekolah. Selesai makan, tepatnya di meja makan, saya mendengar Ibu meminta maaf kepada semuanya, karena telor dan tempe yang di sajikan itu gosong dan satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah apa yang Ayah katakan pada Ibu, “Sayang, gak apa-apa, malahan saya suka sekali dengan telor dan tempe yang gosong, kok.“

Sebelum tidur, saya pergi untuk memberikan ciuman selamat tidur kepada Ayah, kemudian saya bertanya, apakah Ayah benar-benar menyukai telur dan tempe yang gosong tadi ?

Heran dengan pertanyaan saya, tiba-tiba Ayah memeluk saya erat dengan kedua lengannya sambil berkata, “Anakku, Ibu sudah bekerja keras sepanjang hari dan dia benar-benar sudah sangat capek, Jadi sepotong telor dan tempe
yang gosong itu tidak akan menyakiti siapa pun, kan..!"

Ini pelajaran yang saya praktekkan di tahun-tahun berikutnya, “Belajar menerima kesalahan orang lain, adalah satu kunci yang sangat penting untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat, bertumbuh dan abadi."

"Ingatlah, emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang ada, jadi selalulah berpikir yang dewasa.“

Mengapa sesuatu hal itu bisa terjadi, karena ini pasti punya alasannya sendiri.

Dan janganlah kita menjadi orang yang egois dan hanya mau dimengerti, tapi tidak mau mengerti dengan keadaan orang lain.

“Tua itu pasti, tapi Dewasa itu PILIHAN.“

Pesan Sebuah Tulang Oleh Johanes Candra Ekajaya


Sudah berhari-hari orang Yahudi itu berjalan menuju Madinah. Ia ingin menemui Khalifah Umar bin Khattab, Amirul Mukminin. Ia banyak mendengar kabar bahwa bahwa Amirul Mukminin seorang yang terkenal bersungguh-sungguh menegakkan keadilan. Jauh-jauh ia datang dari Mesir dengan sebuah harapan, Khalifah mau memperhatikan nasibnya yang tertindas.

Baru ketika matahari condong ke barat, ia tiba di Madinah. Walaupun badannya terasa letih, namun air mukanya tampak berseri. Ia gembira telah sampai di negeri Amirul Mukminin yang aman. Dengan tergopoh-gopoh, orang Yahudi itu memasuki halaman rumah Umar bin Khattab, lalu meminta izin pada prajurit yang sedang berjaga.

“Jangan-jangan, Khalifah tidak mau menerimaku” katanya dipenuhi rasa cemas. Ia menunggu di luar pintu. Prajurit masuk menemui Khalifah Umar.

“Wahai Amirul Mukminin, ada orang Yahudi ingin menghadap Tuan” sahut Prajurit.

“Bawalah ke hadapanku” perintah Khalifah.

Orang Yahudi pun masuk disertai pengawal. Ada ketenangan di hati orang Yahudi ketika melihat Khalifah yang begitu lembut dan perhatian. Bertambah terperanjat orang Yahudi itu, ternyata Amirul Mukminin menjamunya dengan aneka makanan dan minuman.

“Saat ini kau adalah tamuku, silahkan nikmati jamuannya” sambut Khalifah. 'Rupanya benar apa yang kudengar tentang Khalifah', kata orang Yahudi dalam hati.

Setelah dijamu layaknya tamu dari jauh, Khalifah meminta kepada orang Yahudi untuk menyampaikan maksud kedatangannya. “Ya Amirul Mukminin, saya ini orang miskin” kata orang Yahudi memulai pembicaraan. Amirul Mukminin mendengarkannya dengan penuh perhatian. “Di Mesir, kami punya sebidang tanah” lanjut orang Yahudi.

“Ya, lalu, ada apa ?” tanya Amirul Mukminin.

“Tanah itu satu-satunya milik saya yang sudah lama saya tinggali bersama anak dan istri saya. Tapi Gubernur mau membangun Masjid yang besar di daerah itu. Gubernur akan menggusur tanah dan rumah saya itu” tutur orang Yahudi sedih, matanya berkaca-kaca. “Kami yang sudah miskin ini mau pindah kemana ? Jika semua milik kami digusur oleh Gubernur ? Tolonglah saya yang lemah ini, saya minta keadilan dari Tuan” Orang Yahudi memohon dengan memelas.

“Oh, begitu ya ? Tanah dan rumahmu mau digusur oleh Gubernurku ?” kata Amirul Mukminin mengangguk-angguk.

Khalifah Umar tampak merenung. Ia sedang berpikir keras memecahkan masalah yang dihadapi orang Yahudi itu.

“Kau tidak bermaksud menjual rumah dan tanahmu, hai Yahudi ?” tanya Khalifah.

“Tidak !” orang Yahudi tersebut menggelengkan kepalanya.

“Sebab cuma itulah harta kami. Saya tidak rela melepasnya kepada siapapun” Orang Yahudi tetap pada pendiriannya.

“Baiklah, aku akan membantumu” kata Amirul Mukminin. Hati orang Yahudi itu merasa lega karena Amirul Mukminin mau membantu kesusahannya.

“Hai Yahudi” kata Khalifah kemudian. “Tolong ambilkan tulang di bak sampah itu !” perintahnya.

“Maaf, Tuan menyuruh saya mengambil tulang itu ?” tanya orang Yahudi ragu. Ia tidak mengerti untuk apa tulang yang sudah dibuang harus diambil lagi. Namun, ia menuruti juga perintah Khalifah.

“Ini tulangnya Tuan“ orang Yahudi menyerahkan tulang unta tersebut kepada Khalifah.

Lalu, Khalifah Umar membuat garis lurus dan gambar pedang pada tulang itu.

“Serahkan tulang ini pada Gubernur Mesir !” kata Amirul Mukminin lagi.

Orang Yahudi menatap tulang yang ada. Garis lurus dan gambar pedangnya itu. Ia merasa tidak puas.

Kedatangannya menghadap Khalifah untuk mendapat keadilan, tetapi Khalifah hanya memberinya tulang untuk diserahkan kepada Gubernur.

“Ya Amirul Mukminin, jauh-jauh saya datang minta tuan membereskan masalah saya, tapi tuan malah memberi tulang ini kepada Gubernur ?” sahut orang yahudi.

“Serahkan saja tulang itu !” jawab Khalifah pendek. Orang yahudi tidak membantah lagi. Iapun bertolak ke mesir dengan dipenuhi beribu pertanyaan dikepalanya.

“Aneh, Khalifah Umar menyuruhku untuk memberikan tulang ini pada Gubernur ?” gumamnya sepanjang perjalanan ke negerinya.

Setibanya di mesir, orang yahudi bergegas menuju kediaman Gubernur. “Wahai Tuan Gubernur, saya orang yahudi yang tanahnya akan kau gusur itu“ kata orang Yahudi tersebut.

“Oh kau rupanya, ada apa lagi ?” kata sang Gubernur.

“Saya baru saja menghadap Amirul Mukminin” kata orang yahudi.

“Lantas ada apa ?”

“Saya disuruh memberikan tulang ini” orang Yahudi itupun segera menyerahkan tulang unta ke tangan Gubernur.

Diperiksanya tulang itu baik-baik. Wajah Gubernur berubah pucat. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur di dahinya ketika melihat gambar pada tulang itu. Sebuah garis lurus dan gambar pedang yang dibuat Khalifah Umar sudah membuat hati Gubernur ketakutan bukan main.

“Hai pengawal !” tiba-tiba ia berteriak keras.

“Serahkan tanah orang yahudi ini sekarang juga ! Batalkan rencana menggusur rumah dan tanahnya ! Kita cari tempat lain untuk membangun masjid” kata Gubernur.

Orang Yahudi itupun menjadi heran dibuatnya. Ia sungguh tidak mengerti dengan perubahan keputusan Gubernur yang akan mengembalikan tanah miliknya. Hanya dengan melihat tulang yang bergambar pedang dan garis lurus dari Khalifah tadi, Gubernur tampak sangat ketakutan.

“Hai Yahudi ! Sekarang juga kukembalikan tanah dan semua milikmu. Tinggallah engkau dan keluargamu disana sesuka hati” sahut Gubernur terbata-bata.

Pesan dalam tulang itu dirasakan Gubernur seakan-akan Khalifah Umar berada dihadapannya dengan wajah yang amat marah. Ya ! Gubernur merasa seolah-olah dicambuk dan ditebas lehernya oleh Amirul Mukminin.

“Tuan Gubernur ada apa sebenarnya ? Apa yang terjadi ? Kenapa tuan tampak ketakutan melihat tulang yang ada garis lurus dan gambar pedang itu ? Padahal Amirul Mukminin tidak mengatakan apa-apa ?” tanya orang Yahudi masih tak mengerti.

“Hai Yahudi, Tahukah engkau ? Sesungguhnya Amirul Mukminin sudah memberi peringatan keras padaku lewat tulang ini” kata Gubernur.

Orang Yahudi tersebut bertambah heran saja. "Sesungguhnya tulang ini membawa sebuah pesan peringatan. Garis lurus, artinya Khalifah Umar memintaku agar aku sungguh-sungguh menegakkan keadilan terhadap siapapun. Dan gambar Pedang, artinya kalau aku tidak berlaku adil, maka Khalifah akan bertindak. Aku harus menjadi penguasa yang adil sebelum aku yang menjadi tulang belulang” jawab Gubernur menceritakan isi pesan yang terkandung dalam tulang unta itu.

Kini orang Yahudi pun mengerti semuanya. Betapa ia sangat kagum kepada Amirul Mukminin yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib orang tertindas seperti dirinya meskipun ia bukan dari kaum muslimin.

“Tuan Gubernur, saya sangat kagum pada Amirul Mukminin dan keadilan yang diberikan Pemerintah Islam. Karenanya, saya ingin menjadi orang Muslim. Saat ini saya rela melepaskan tanah itu karena Allah semata”

Tanpa ragu sedikitpun orang Yahudi itu langsung bersyahadat dan merelakan tanahnya untuk didirikan di atasnya sebuah masjid.

Atlet Inspiratif dan Ayahnya Oleh Candra Ekajaya

 
Ini merupakan sebuah kisah nyata, yang kami ambil dari Novel Inspiratif Sepatu Terakhir.


Olimpiade Barcelona, 1992.
Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar di bumi ini.

Nama lelaki itu Derek Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris. Impian terbesarnya ialah mendapatkan sebuah medali olimpiade, apapun medalinya. Derek sebenarnya sudah ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun 1988 di Korea. Namun sayang beberapa saat sebelum bertanding, ia cedera sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak mau, olimpiade ini adalah kesempatan terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini adalah hari pembuktiannya, untuk mendapatkan medali di nomor lari 400 meter. Karena ia dan ayahnya sudah berlatih sangat keras untuk ini.

Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga ke meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia akan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini. Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersebut, tiba-tiba ia didera cedera secara tiba-tiba di meter 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.

Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah. Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli itu menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.

Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cedera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, "Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini" katanya.

Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit di kakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju garis finish.

Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, "Itu anakku, dan aku akan menolongnya !"

Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin . Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.

"Aku disini nak" katanya lembut sambil memeluk anaknya, "dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama"

Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish  tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.

Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, bersorak bertepuk tangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.

Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.

"Aku adalah Ayah yang paling bangga sedunia ! Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas sekalipun"

Dua tahun pasca perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.

Namun tahukah kalian apa yang terjadi ?

Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
----------********----------

Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan.

Susu yang Telah Tumpah oleh Johanes Candra Ekajaya



Seperti pagi biasanya, Gadis pemerah susu itu berangkat ke pasar untuk menjual susu hasil perahan sapinya itu. Dia membawa beberapa botol berisi susu yang akan ia jual sesampainya di pasar nanti. Di tengah perjalanan, ia berangan - angan tentang apa yang akan ia perbuat dengan uang hasil jualan susunya itu.

"Dengan uang itu, aku akan membeli seratus ekor anak ayam yang akan aku pelihara di halaman belakang rumahku. Aku akan memelihara mereka sampai mereka besar, dan setelah itu aku akan menjualnya dengan harga yang mahal" gumamnya.

Sambil terus berjalan, ia melanjutkan angan - angannya itu, "Kemudian aku akan membeli 2 ekor anak kambing, dan akan ku gembalakan di padang rumput di balik bukit itu. Dan ketika mereka besar, aku bisa mengambil susunya untuk aku jual kembali, dan setelah itu aku akan menjualnya dengan harga yang lebih mahal lagi. Nah, setelah itu, aku akan mendapatkan uang banyak dan akan ku belikan sapi. Sehingga aku bisa menjual susu lebih banyak lagi dan tentunya aku akan mendapatkan uang yang lebih banyak pula...!!" gumamnya dalam hati.

Ia amat kegirangan dengan angan - angannya itu. Ia melompat - lompat sembari membayangkan betapa banyak uang yang akan didapatkan nantinya. Karena seking gembiranya, ia lupa bahwa ia tengah melewati sebuah jembatan, dan jembatan itu masih licin karena hujan tadi malam. Ia pun terpeleset jatuh. Semua tempat susunya itu tumpah ke sungai. Melihat itu, ia terduduk sembari menangis, karena semua angan - angannya seakan ikut hanyut terbawa aliran sungai.

Berat Segelas Air Oleh Yohanes Candra Ekajaya

 
Saat Stephen R. Covey mengajar tentang Manajemen Stress, dia bertanya kepada para peserta kuliah,

"Menurut Anda, kira-kira berapa berat segelas air ini ?"

Jawaban para peserta sangat beragam, mulai dari 200 gram sampai 500 gram.

"Sesungguhnya yang menjadi masalah bukanlah berat absolutnya. Tetapi berapa lama Anda memegangnya" ungkap Covey.

"Jika saya memegangnya selama satu menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan sakit. Jika saya memegangnya selama satu hari penuh, mungkin Anda harus memanggilkan ambulans untuk saya" lanjutnya.

"Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat. Jika kita membawa beban terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu terasa meningkat beratnya" ungkap Covey.

"Yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut. Istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi. Kita harus meninggalkan beban kita, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sehari-hari, tinggalkan  beban pekerjaan Anda. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok" lanjutnya.

"Apapun beban yang ada di pundak Anda hari ini, coba tinggalkan sejenak. Setelah beristirahat, nanti dapat diambil lagi. Hidup ini sangat singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di dalam hati kita" kata Covey.

Ibnu Hajar Al Asqalany vs Yahudi Oleh Johanes Candra Ekajaya



Mari takjubi kisah para Shalihin. Pada ilmu & daya ruhani mereka terkandung cahaya Allah. Maka bahkan ejekannya pun jadi jalan hidayah.
Suatu ketika Ibn Hajar Al 'Asqalani; beliau adalah penulis Fathul Bari (Syarah Shahih al-Bukhari) yang termasyhur itu, melintas dengan kereta mewahnya. Beliau dicegat oleh seorang Yahudi penjual minyak ter. Penampilan keduanya bertolak belakang. Ibnu Hajar tampak anggun & megah. Sementara itu, Yahudi penjual minyak ter itu dekil, compang-camping, berbau busuk, & kumal.

Dicegatnya Ibnu Hajar lalu Yahudi itu bertanya, "Nabimu mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin & surganya orang kafir (HR Muslim), benarkah demikian ?", ujarnya.

"Betul, demikianlah sabda beliau SAW", sahut Ibnu Hajar tersenyum.

"Kalau begitu akulah mukmin & kamulah kafir !", hardik si Yahudi.

"Oh", sahut Ibnu Hajar sembari tersenyum lagi, "Mengapa bisa demikian hai Ahli Kitab yang malang ?"

Jawab si Yahudi, "Coba lihat, aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak ter, maka aku merasa terpenjara, maka aku mukmin. Sementara kamu, hidup mewah dan megah, maka kamu seperti di surga, sehingga sesuai hadits tadi, kamu adalah orang kafir."

Ibnu Hajar menyimak. Setelah tersenyum lagi, beliau berkata, "Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadits itu duhai cucu Israil ?"

"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku, sebab segala kemewahan yang kunikmati sekarang, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dalam kemewahan ini, kami menanti nikmat yang jauh lebih berlipat. Maka hakikatnya, dunia ini adalah penjara buat kami."

"Sementara kau, di dunia memang payah & menderita, tapi semua nestapamu itu tiada artinya dibanding dengan apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka. Duniamu yang menyiksa itu, sungguh adalah surga tempatmu masih bisa tersenyum, makan, & minum; menanti siksa abadi kelak di neraka sejati." Yahudi penjual ter itu ternganga.

Lalu dengan mata berkaca-kaca, dia berkata dengan lirih, "Asyhadu anlaa Ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammmadan Rasulallah.."
Segera, tanpa memedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Ibnu Hajar memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam.

"Selamat datang ! Selamat datang saudaraku ! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala pujian hanya milikNya !" Mereka berangkulan erat.

Hari itu, si penjual minyak ter dibawa Ibnu Hajar ke rumahnya, dididik, & akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang utama.

Begitulah kekuatan ilmu & ruhani yang tersambung ke langit suci. Orang Shalih itu mengilhami, bahkan 'ejekan'nya pun, jadi jalan hidayah. :) .

Bocah Pembeli Ice Cream Oleh Johanes Candra Ekajaya


Kisah ini terjadi sudah lama sekali, sekitar tahun 1930-an. Ketika itu harga es krim sundae masih terbilang murah. Suatu hari, seorang bocah laki-laki berumur 10 tahun mendatangi kedai kopi sebuah hotel dan duduk di satu meja. Seorang pelayan menaruh segelas air di depannya.

"Berapa harga es krim sundae ?" tanya bocah itu.

"50 sen" jawab si pelayan.

Bocah itu mengeluarkan kepingan uang dari kantong celananya dan menghitungnya, "Hmmm.. Kalau es krim yang biasa berapa ?" tanyanya lagi.

Saat itu, sudah banyak pelanggan yang menunggu untuk dilayani. Dan si pelayan menjadi tidak sabar, "35 sen" jawabnya dengan kasar.

Bocah itu menghitung uangnya sekali lagi dengan hati-hati, "Aku pesan yang biasa saja" lanjutnya.

Tak lama kemudian, si pelayan membawa pesanan bocah itu dan menaruh bonnya di meja, lalu dia pergi. Setelah menghabiskan es krimnya, ia membayar ke kasir dan pergi. Ketika si pelayan hendak membersihkan meja yang tadi dipakai bocah itu, ia kaget dan mulai menangis. Di samping piring tempat es krim terselip dua koin bernilai 5 sen dan lima koin bernilai 1 sen. Inilah alasannya bocah tadi tidak jadi memesan es krim sundae karena ia ingin memberikan tips yang layak kepada si pelayan.

----------********----------

Bukankah kita sering kali bersikap seperti pelayan tadi ? Selalu cepat menghakimi orang lain. Selalu melihat suatu keadaan atau kejadian dari satu sisi saja. Sesuatu yang tampak tidak baik di satu sisi belum tentu tidak baik juga di sisi yang lain.

Seperti pada cerita di atas, tindakan si bocah yang membuat si pelayan jengkel ternyata berujung pada maksud dan niat yang baik. Dan, sayangnya, si pelayan terlambat menyadarinya. Nah, sebelum kita mengalami hal yang sama seperti pelayan tadi, mari belajar untuk memahami suatu kejadian atau seseorang  dari berbagai sisi, sehingga kita bisa mengambil tindakan atau mengeluarkan perkataan yang tidak akan kita sesali di kemudian hari.

Jendela Kereta Api Oleh Johanes Ekajaya

 Hari itu, di kereta api terdapat seorang pemuda bersama ayahnya. Pemuda itu cukup dewasa, sekitar berusia 24 tahun.

Di dalam kereta, pemuda itu memandang keluar jendela kereta, lalu berkata pada Ayahnya, "Ayah lihat, pohon-pohon itu sedang berlarian"

Sepasang anak muda duduk berdekatan. Keduanya melihat pemuda 24 tahun tadi dengan kasihan. Bagaimana tidak, untuk seukuran seusianya, kelakuan pemuda itu tampak begitu kekanak kanakan.

Namun seolah tidak peduli, si pemuda tadi tiba-tiba berkata lagi dengan antusiasnya, "Ayah lihatlah, awan itu sepertinya sedang mengikuti kita"

Kedua pasangan muda itu tampak tak sabar, lalu berkata kepada sang Ayah dari pemuda itu, "Kenapa Anda tidak membawa putra Anda itu ke seorang dokter yang bagus ?"

Sang Ayah hanya tersenyum, lalu berkata, "Sudah saya bawa, dan sebenarnya kami ini baru saja pulang dari rumah sakit. Anak saya ini sebelumnya buta semenjak kecil, dan ia baru saja mendapatkan penglihatannya hari ini"

Kedua pasangan muda itu pun terdiam, ketika mendengar jawaban sang Ayah. Dalam hati kecil mereka, mereka bersyukur atas penglihatan yang telah diberikan kepada mereka selama ini. Dan mendo'akan kepada pemuda itu, mudah-mudahan ia selalu bergembira.

 ----------********----------

Sahabat, setiap manusia di dunia ini memiliki ceritanya masing-masing. Jangan langsung kita men-judge seseorang sebelum kita mengenalnya dengan benar. Karena kebenaran boleh jadi mengejutkan kita.

Selalu berprasangka baik kepada setiap orang, karena itu yang diajarkan nabimu, dan itulah cara yang baik untuk menjalani kehidupan... :)

Nasihat di Kala Sunyi dan Sendiri Oleh Yohanes Candra Ekajaya


Pernah bersya'ir Asy Syafi'i,

'Nasihati aku kala sunyi dan sendiri;
jangan di kala ramai dan banyak saksi.
Sebab nasihat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak,
maka maafkan jika aku berontak'

Adalah Imam Ahmad, agung dalam mengamalkannya. Inilah yang dikisahkan Harun ibn Abdillah Al Baghdadi :

Di satu larut malam pintuku diketuk orang. Aku bertanya, "Siapa ?" Suara di luar lirih menjawab, "Ahmad !" Kuselidik, "Ahmad yang mana ?" Nyaris berbisik kudengar, "Ibnu Hanbal" Subhanallah, itu Guruku !

Kubukakan pintu, dan beliau pun masuk dengan langkah berjingkat, kusilakan duduk, maka beliau menempah hati-hati agar kursi tak berderit.

Kutanya, "Ada urusan sangat pentingkah sehingga engkau duhai Guru, berkenan mengunjungiku di malam selarut ini ?" Beliau tersenyum.

"Maafkan aku duhai Harun" ujar beliau lembut dan pelan, "Aku terkenang bahwa kau biasa masih terjaga meneliti hadits di waktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yang mengganjal di hatiku sejak siang tadi" Aku terperangah, "Apakah hal itu tentang diriku ?" Beliau mengangguk.

"Jangan ragu" ujarku. "Sampaikanlah wahai Guru, ini aku mendengarkanmu"

"Maaf ya Harun" ujar beliau, "Tadi siang kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Kau bacakan hadits untuk mereka catat. Kala itu mereka tersengat terik mentari, sedangkan dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali jangan begitu duhai Harun, duduklah dalam keadaan yang sama, sebagaimana muridmu duduk"

Aku tercekat, tak sanggup menjawab. Lalu beliau berbisik lagi, pamit undur diri. Kemudian melangkah berjingkat, menutup pintu hati-hati. Masya Allah, inilah Guruku yang mulia, Ahmad ibn Hanbal. Akhlak indahnya sangat terjaga dalam memberi nasihat dan meluruskan khilafku. Beliau bisa saja menegurku di depan para murid, toh Beliau Guruku yang berhak untuk itu. Tetapi tak dilakukannya demi menjaga wibawaku. Beliau bisa saja datang sore, bakda Maghrib atau Isya' yang mudah baginya. Itu pun tak dilakukannya, demi menjaga rahasia nasihatnya.

Beliau sangat hafal kebiasaanku terjaga di larut malam. Beliau datang mengendap dan berjingkat; bicaranya lembut dan nyaris berbisik. Semua beliau lakukan agar keluargaku tak tahu; agar aku yang adalah ayah dan suami tetap terjaga sebagai imam dan teladan di hati mereka. Maka termuliakanlah Guruku sang pemberi nasihat, yang adab tingginya dalam menasehati menjadikan hatiku menerima dengan ridha dan cinta.

Sumber : Buku 'Menyimak Kicau Merajut Makna' (Salim A. Fillah)